Rilis Berita Pertanggungjawaban Ujian Tugas Akhir Tesis – Galuh Widya Wardani – Nggêrêng: “Nyanyian Tenggorokan” Fajar Satriadi dalam Penciptaan Musik Meditatifoleh Galuh Widya Wardani

Surakarta, 23 Agustus 2024 – Dalam upaya menggali kembali esensi musik melalui perspektif yang berbeda, Fajar Satriadi memperkenalkan teknik seni suara yang disebut Nggêrêng, sebuah bentuk suara yang dihasilkan dari aktivitas pernapasan perut dan pengolahan tenggorokan, menghasilkan getaran berat dan bernada rendah, mirip dengan suara geraman. Teknik ini menjadi fokus utama dalam penelitian yang dipaparkan pada Ujian Tugas Akhir Tesis Karya Seni di Pascasarjana ISI Surakarta, Jumat, 23 Agustus 2024, di Ruang Sidang Lantai 2 Gedung Prof. Drs. Wuryanto. Dihadiri oleh para penguji, Dr. Handriyotopo, S.Sn., M.Sn. sebagai Ketua Dewan Penguji, serta Dr. Aris Setiawan, S.Sn., M.Sn. (Pembimbing), dan Dr. Zulkarnain Mistortoify, M.Hum. (Penguji), penelitian ini berjudul “Nggêrêng: Nyanyian Tenggorokan Fajar Satriadi dalam Penciptaan Musik Meditatif.” Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih dalam tentang teknik Nggêrêng, yang tidak hanya sekadar hasil letupan suara dari mulut, tetapi juga merupakan bagian integral dari peristiwa musik.

Seni, pada esensinya, merupakan jembatan yang menghubungkan dunia batin manusia dengan dunia luar. Ketika seni bertemu dengan spiritualitas, ia tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ekspresi, tetapi juga sebagai saluran untuk menyampaikan perasaan yang mendalam dan tak terungkapkan. Dalam konteks ini, seni menjadi lebih dari sekadar karya estetika; ia menjadi medium yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri dan dengan kekuatan yang lebih besar, yang sering kali kita sebut sebagai Sang Pencipta. Seperti halnya dalam upacara ritual panen raya di sebuah desa, seni berfungsi untuk mengungkapkan rasa syukur yang tak mampu diucapkan dengan kata-kata. Di sini, hasil bumi yang melimpah, yang menjadi simbol keberkahan, disajikan dalam bentuk seni sebagai bentuk persembahan yang penuh makna spiritual.

Mengapa perasaan dalam seni harus “dihidupkan”? Karena perasaan adalah jiwa dari sebuah karya seni. Ia adalah sesuatu yang senantiasa ada dalam diri manusia, tetapi perlu digali, dilatih, dan diekspresikan melalui kepekaan terhadap dunia di sekitar kita. Kepekaan ini bukan hanya tentang merasakan, tetapi juga tentang bagaimana merespons apa yang kita rasakan. Misalnya, ketika seseorang menyaksikan keindahan alam, seperti pemandangan pegunungan yang memukau atau mendengar suara deburan ombak yang menenangkan, perasaan yang muncul adalah perasaan yang murni dan alami. Namun, perasaan ini bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih transendental jika dihubungkan dengan pengalaman spiritual.

Ketika seni mampu merespon perasaan dengan cara yang transenden, ia bukan lagi sekadar ekspresi diri, tetapi menjadi sebuah alat komunikasi yang membawa kita lebih dekat kepada Sang Pencipta. Ini adalah saat di mana seni mengalir menjadi bahasa yang tidak terucapkan, sebuah medium yang membuka jalan bagi pengalaman religius yang mendalam. Dalam hal ini, seni tidak hanya berfungsi sebagai sarana ekspresi personal, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan komunikasi dengan yang Maha Kuasa, yang dapat membawa pengalaman spiritual menuju dimensi yang lebih luas dan lebih dalam. Seperti yang ditemukan dalam seni suara Nggêrêng Fajar Satriadi, seni dapat menjadi cara untuk merespons getaran kehidupan, dari yang fisik hingga yang transendental, dan pada akhirnya menjadi pengalaman yang tidak hanya menyentuh jiwa, tetapi juga menghubungkan kita dengan kekuatan yang lebih besar.

Berbasis pendekatan Fenomenologis dan Etnografi, penelitian ini mengungkapkan dua aspek utama: pertama, kenyataan Nggêrêng sebagai peristiwa yang dapat dirasakan dalam kesadaran, dan kedua, keterkaitannya dengan pengalaman pribadi pelaku, Fajar Satriadi, sebagai ekspresi yang tak terpisahkan dari kehidupan dan penciptaan musiknya. Fajar Satriadi, dalam tesisnya, berpendapat bahwa esensi musik bukan hanya terletak pada unsur-unsur teknis seperti nada, ritme, dan harmoni, tetapi juga pada getaran yang merupakan dasar dari semua musik.

Dalam konteks ini, Nggêrêng menjadi simbol dari getaran yang menghubungkan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi, seperti yang tercermin dalam praktik meditasi yang berakar pada tradisi Tibet. Fajar Satriadi ingin mengembalikan musik pada hakikatnya, yaitu getaran yang mampu membawa pendengarnya pada pengalaman transendental. Melalui teknik ini, ia membawa Nggêrêng dari ruang meditatif ke ruang seni pertunjukan, menawarkan alternatif baru dalam musik meditatif yang mengundang audiens untuk merasakan musik dalam dimensi yang lebih dalam dan spiritual.

Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan bahwa Nggêrêng bukan hanya sebuah teknik vokal yang unik, tetapi juga sebuah peristiwa musik yang mendalam, berhubungan dengan getaran dan frekuensi yang dapat membawa dampak signifikan dalam dunia seni pertunjukan. Dengan membawa Nggêrêng ke ruang pertunjukan, Fajar Satriadi berharap dapat memberikan kontribusi baru dalam dunia seni yang relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan pendekatan yang berbeda dan pemahaman yang lebih dalam terhadap esensi musik, penelitian ini tidak hanya memaparkan teknik Nggêrêng sebagai seni suara, tetapi juga memperkenalkan konsep musik yang lebih luas, yang menyentuh dimensi fisik dan spiritual manusia.

Penulis: AK. Dawami.

Berikut ini dokumentasinya: